Come What May
Mobilku tercinta meminta perhatian lagi. Panther hijau tentara berusia 12 tahun itu sudah setia menemaniku sejak tahun awal 1998. Pelindung yang Tuhan berikan saat-saat orang yang berniat jahat mendatangiku. Melaluinya Tuhan mengajarkanku arti hidup dalam kelimpahan dan bersyukur. Pendeknya, dia jadi saksi berbagai peristiwa dalam hidupku.
Duduk diam dengan manis di bengkel langganan setelah sejenak bercakap-cakap dengan Nyonya pemiliknya, perhatianku kini teralih pada mobil keluarga mereka. Tak kalah tuanya dengan milikku tapi jangan pernah meremehkan kehandalannya, kehalusan mesinnya yang terawat melampaui banyak mobil-mobil baru yang kurang terawat.
Dan waktu kualihkan pandanganku ke pasangan suami-istri pemilik bengkel yang sudah berusia pertengahan 50-an, aku jadi belajar hari tentang arti pernikahan dan pasangan. Mereka berdua seperti mobil milik mereka. Berumur tapi karena terus dirawat, jangan pernah remehkan kehandalan mereka untuk bertahan dalam ikatan pernikahannya.
Salah satu yang paling menghancurkan hatiku adalah saat pasangan-pasangan suami-istri yang mengalami kesulitan di dalam hubungan mereka kemudian memilih untuk berpisah dan tidak sedikit yang kemudian menjalin hubungan dengan pasangan yang baru hanya untuk mengalami hal yang serupa, seringkali lebih buruk daripada yang sebelumnya. Dan bukan hanya relasi dengan pasangan saja, dalam relasi apapun selalu ada kisah yang tidak berbeda. Orangtua dengan anak. Antar teman atau rekan kerja. Pimpinan dan yang dipimpin. Seringkali orang berpikiran relasi rusak karena orang lain begini dan begitu. Padahal yang seringkali menjadi masalahnya adalah relasi apapun memerlukan pihak-pihak yang terlibat untuk merawat relasi itu. It takes two to tango.
Aku jadi ingat satu kalimat di lagu tema film Moulin Rouge, “Come What May!” Sudah lama aku dengarkan lagu itu, lebih dari sekali pula karena melodi dan aransemennya yang kusukai. Tenor Ewan McGregor dipadu suara Nicole Kidman indah sekali terdengar. Tapi baru akhir-akhir inilah kusadari bahwa liriknya bersusunan seperti ini.
Yang menarik perhatianku adalah Reff.-nya dimana kata-kata “come what may” diletakkan mendahului “I will love you until my dying day”. Buatku itu seperti mengingatkanku bahwa komitmen harus selalu melampaui perasaan kita.
Aku tertarik membagi sedikit dari yang kubaca tentang pernikahan oleh Les dan Leslie Parrott dalam salah satu bukunya When Bad Things Happen To Good Marriages memberikan cerita tentang sepasang suami-istri yang aku coba ceritakaan ulang sebagai berikut:
Seandainya Anda mengeluarkan kertas kuning dan menyebutkan cara-cara untuk membuat suatu pernikahan menyengsarakan, saya rasa Anda takkan menemukan strategi paling efektif untuk menghancurkan hubungan nyata antara Ted dengan Liz. Mereka berlayar dengan mulus di tahun-tahun awal pernikahan mereka, menangani pergumulan-pergumulan yang umum seperti masalah komunikasi. Tetapi tidak lama setelah kelahiran anak yang pertama, Ted dan Liz terhantam oleh berbagai pukulan yang tak dapat diramalkan.
Pertama, Liz terkena kanker payudara. Empat tahun kemudian Ted kehilangan pekerjaannya karena berselingkuh dengan seorang wanita di tempat kerjanya. Bertobat, ia memohon Liz tidak meninggalkannya, dan, setelah mempertimbangkan dengan nelangsa, Liz memutuskan untuk tidak meninggalkannya. Tetapi sementara mereka berusaha memperbaiki kerusakan yang diakitbatkan Ted, situasi dipersulit dengan tidak adanya pekerjaan. Tanpa ampun mereka jatuh ke dalam masalah keuangan. Kesulitan mereka tidak berakhir disana. Saat adik lelaki Ted tewas dalam kecelakaan mobil, Ted terpuruk ke dalam depresi klinis, sehingga tinggallah Liz dengan seorang bayi kecil, anggaran pas-pasan dan suami yang terlepas secara emosional.
Tetapi hari ini, hampir 20 tahun setelah kelahiran bayi mereka yang pertama, Ted dan Liz tetap saja menikah bahagia. Kalau Anda tidak tahu kisah mereka, mungkin Anda tidak akan menyangka tentang penderitaan yang mereka derita. Mengapa? Karena mereka belajar memerangi hal-hal buruk. Tidak dengan cepat. Tidak dengan mudah. Tetapi dengan berjalannya waktu, secara bertahapa, selangkah demi selangkah, mereka membangun kembali pernikahan mereka.
Seandainya Anda uraikan di atas kertas kuning seperti apa pasangan yang bahagia itu, Anda akan sulit menemukan pasangan lain yang menyamai Ted dan Liz hari ini.
Ada berbagai hal dari buku itu yang layak dibaca termasuk kutipan-kutipan indah yang aku coba bagikan beberapa diantaranya:
“Pengharapan memiliki dua puteri yang cantik. Nama mereka adalah amarah serta keberanian; amarah terhadap segalanya yang apa adanya, dan keberanian untuk melihat bahwa segalanya itu takkan tetap seperti apa adanya (St. Augustine).”
“Pernikahan yang baik adalah kesatuan dari dua orang pengampun (Ruth B. Graham).
“Kebanyakan orang yang gagal adalah orang-orang yang tidak sadar betapa dekat mereka itu dengan sukses ketika mereka menyerah (Thomas A. Edison).”
Bicara tentang pernikahan tentu saja aku belum layak karena semua yang kuketahui hanyalah sebatas kognitif. Tak terhitung banyaknya pasangan yang bercerita padaku bahwa meskipun mereka tahu dari sebelum menikah akan kesulitan-kesulitan yang mungkin menghadang kehidupan pernikahan mereka, tapi saat menjalaninya kesulitan-kesulitan itu betul-betul menjadi jauh lebih besar dibandingkan yang bisa mereka perkirakan.
Tapi untuk inilah aku bersyukur, bahwa orang-orang yang bercerita tentang kesulitan-kesulitan itu adalah juga orang-orang yang menceritakan padaku bahwa semua itu tetap tidak akan membuat mereka mundur dari pernikahan mereka, bahkan di saat paling menghancurkan sekalipun. Dan itu semua dimungkinkan karena semakin mengertinya mereka bahwa pernikahan mereka sesungguhnya adalah sarana yang Tuhan berikan untuk semakin memuliakan dan menikmatiNya.
Hingga saat aku dewasa, hanya sedikit sekali aku berkesempatan mengenal keindahan-keindahan yang ada di dalam suatu pernikahan. Aku mengerti kini, itulah sebabnya Tuhan sendirilah yang mengajarkan berbagai hal itu lewat orang-orang ini. Dan yang paling indah, lewat semua itu aku justru semakin mengerti dalamnya cinta Tuhan buatku.
Ada terlalu banyak ayat-ayat di Alkitab yang mengajarkan kita tentang hal ini. Di lain kali aku akan coba menuliskannya, terutama analogi hubungan suami-istri yang menjadi bayang-bayang hubungan Kristus dengan jemaatNya. Until then, inilah salah satu ayat yang selalu kuingat sekarang…
I’m no superman, but I love you the best I can. Don’t you know I’m just flesh and bone but without you I feel like flying. Don’t you know I’m no superman, but I’ll always be your man… (Ronan Keating – Superman)
Jangan lewatkan membaca ini: John Piper on Divorce
Duduk diam dengan manis di bengkel langganan setelah sejenak bercakap-cakap dengan Nyonya pemiliknya, perhatianku kini teralih pada mobil keluarga mereka. Tak kalah tuanya dengan milikku tapi jangan pernah meremehkan kehandalannya, kehalusan mesinnya yang terawat melampaui banyak mobil-mobil baru yang kurang terawat.
Dan waktu kualihkan pandanganku ke pasangan suami-istri pemilik bengkel yang sudah berusia pertengahan 50-an, aku jadi belajar hari tentang arti pernikahan dan pasangan. Mereka berdua seperti mobil milik mereka. Berumur tapi karena terus dirawat, jangan pernah remehkan kehandalan mereka untuk bertahan dalam ikatan pernikahannya.
Salah satu yang paling menghancurkan hatiku adalah saat pasangan-pasangan suami-istri yang mengalami kesulitan di dalam hubungan mereka kemudian memilih untuk berpisah dan tidak sedikit yang kemudian menjalin hubungan dengan pasangan yang baru hanya untuk mengalami hal yang serupa, seringkali lebih buruk daripada yang sebelumnya. Dan bukan hanya relasi dengan pasangan saja, dalam relasi apapun selalu ada kisah yang tidak berbeda. Orangtua dengan anak. Antar teman atau rekan kerja. Pimpinan dan yang dipimpin. Seringkali orang berpikiran relasi rusak karena orang lain begini dan begitu. Padahal yang seringkali menjadi masalahnya adalah relasi apapun memerlukan pihak-pihak yang terlibat untuk merawat relasi itu. It takes two to tango.
Aku jadi ingat satu kalimat di lagu tema film Moulin Rouge, “Come What May!” Sudah lama aku dengarkan lagu itu, lebih dari sekali pula karena melodi dan aransemennya yang kusukai. Tenor Ewan McGregor dipadu suara Nicole Kidman indah sekali terdengar. Tapi baru akhir-akhir inilah kusadari bahwa liriknya bersusunan seperti ini.
Never knew I could feel like this
Like I’ve never seen the sky before
I want to vanish inside your kiss
Every day I love you more and more
Listen to my heart can you hear it sing
Telling me to give you everything
Seasons may change, winter to spring
But I love you, until the end of time
Come what may, come what may
I will love you, until my dying day
Like I’ve never seen the sky before
I want to vanish inside your kiss
Every day I love you more and more
Listen to my heart can you hear it sing
Telling me to give you everything
Seasons may change, winter to spring
But I love you, until the end of time
Come what may, come what may
I will love you, until my dying day
Yang menarik perhatianku adalah Reff.-nya dimana kata-kata “come what may” diletakkan mendahului “I will love you until my dying day”. Buatku itu seperti mengingatkanku bahwa komitmen harus selalu melampaui perasaan kita.
Aku tertarik membagi sedikit dari yang kubaca tentang pernikahan oleh Les dan Leslie Parrott dalam salah satu bukunya When Bad Things Happen To Good Marriages memberikan cerita tentang sepasang suami-istri yang aku coba ceritakaan ulang sebagai berikut:
Seandainya Anda mengeluarkan kertas kuning dan menyebutkan cara-cara untuk membuat suatu pernikahan menyengsarakan, saya rasa Anda takkan menemukan strategi paling efektif untuk menghancurkan hubungan nyata antara Ted dengan Liz. Mereka berlayar dengan mulus di tahun-tahun awal pernikahan mereka, menangani pergumulan-pergumulan yang umum seperti masalah komunikasi. Tetapi tidak lama setelah kelahiran anak yang pertama, Ted dan Liz terhantam oleh berbagai pukulan yang tak dapat diramalkan.
Pertama, Liz terkena kanker payudara. Empat tahun kemudian Ted kehilangan pekerjaannya karena berselingkuh dengan seorang wanita di tempat kerjanya. Bertobat, ia memohon Liz tidak meninggalkannya, dan, setelah mempertimbangkan dengan nelangsa, Liz memutuskan untuk tidak meninggalkannya. Tetapi sementara mereka berusaha memperbaiki kerusakan yang diakitbatkan Ted, situasi dipersulit dengan tidak adanya pekerjaan. Tanpa ampun mereka jatuh ke dalam masalah keuangan. Kesulitan mereka tidak berakhir disana. Saat adik lelaki Ted tewas dalam kecelakaan mobil, Ted terpuruk ke dalam depresi klinis, sehingga tinggallah Liz dengan seorang bayi kecil, anggaran pas-pasan dan suami yang terlepas secara emosional.
Tetapi hari ini, hampir 20 tahun setelah kelahiran bayi mereka yang pertama, Ted dan Liz tetap saja menikah bahagia. Kalau Anda tidak tahu kisah mereka, mungkin Anda tidak akan menyangka tentang penderitaan yang mereka derita. Mengapa? Karena mereka belajar memerangi hal-hal buruk. Tidak dengan cepat. Tidak dengan mudah. Tetapi dengan berjalannya waktu, secara bertahapa, selangkah demi selangkah, mereka membangun kembali pernikahan mereka.
Seandainya Anda uraikan di atas kertas kuning seperti apa pasangan yang bahagia itu, Anda akan sulit menemukan pasangan lain yang menyamai Ted dan Liz hari ini.
Ada berbagai hal dari buku itu yang layak dibaca termasuk kutipan-kutipan indah yang aku coba bagikan beberapa diantaranya:
“Pengharapan memiliki dua puteri yang cantik. Nama mereka adalah amarah serta keberanian; amarah terhadap segalanya yang apa adanya, dan keberanian untuk melihat bahwa segalanya itu takkan tetap seperti apa adanya (St. Augustine).”
“Pernikahan yang baik adalah kesatuan dari dua orang pengampun (Ruth B. Graham).
“Kebanyakan orang yang gagal adalah orang-orang yang tidak sadar betapa dekat mereka itu dengan sukses ketika mereka menyerah (Thomas A. Edison).”
Bicara tentang pernikahan tentu saja aku belum layak karena semua yang kuketahui hanyalah sebatas kognitif. Tak terhitung banyaknya pasangan yang bercerita padaku bahwa meskipun mereka tahu dari sebelum menikah akan kesulitan-kesulitan yang mungkin menghadang kehidupan pernikahan mereka, tapi saat menjalaninya kesulitan-kesulitan itu betul-betul menjadi jauh lebih besar dibandingkan yang bisa mereka perkirakan.
Tapi untuk inilah aku bersyukur, bahwa orang-orang yang bercerita tentang kesulitan-kesulitan itu adalah juga orang-orang yang menceritakan padaku bahwa semua itu tetap tidak akan membuat mereka mundur dari pernikahan mereka, bahkan di saat paling menghancurkan sekalipun. Dan itu semua dimungkinkan karena semakin mengertinya mereka bahwa pernikahan mereka sesungguhnya adalah sarana yang Tuhan berikan untuk semakin memuliakan dan menikmatiNya.
Hingga saat aku dewasa, hanya sedikit sekali aku berkesempatan mengenal keindahan-keindahan yang ada di dalam suatu pernikahan. Aku mengerti kini, itulah sebabnya Tuhan sendirilah yang mengajarkan berbagai hal itu lewat orang-orang ini. Dan yang paling indah, lewat semua itu aku justru semakin mengerti dalamnya cinta Tuhan buatku.
Ada terlalu banyak ayat-ayat di Alkitab yang mengajarkan kita tentang hal ini. Di lain kali aku akan coba menuliskannya, terutama analogi hubungan suami-istri yang menjadi bayang-bayang hubungan Kristus dengan jemaatNya. Until then, inilah salah satu ayat yang selalu kuingat sekarang…
“Hatred stirs up strife, but love covers many transgressions.”
Proverb 10:12 NASB
Proverb 10:12 NASB
I’m no superman, but I love you the best I can. Don’t you know I’m just flesh and bone but without you I feel like flying. Don’t you know I’m no superman, but I’ll always be your man… (Ronan Keating – Superman)
Jangan lewatkan membaca ini: John Piper on Divorce
No comments:
Post a Comment