Menikmati Allah
Baru-baru ini saya membaca sebuah artikel di salah satu tabloid Malaysia (PEOPLE, Sunday, June 3, 2007) tentang seorang biarawan Budha bernama Tsem Tulku Rinpoche. Tsem Rinpoche, 41, saat ini berjabat resident lama (teacher) dan spiritual director untuk Kechara House Dharma di Petaling Jaya. Awalnya saya melewatkan artikel tersebut karena gambar yang ditampilkan di halaman depannya adalah gambar seorang pemuda berpose bak bintang film atau model. Ah satu lagi halaman gosip... Kedua kalinya membuka halaman yang sama barulah saya melihat judul featured article tersebut "Model monk" dan ringkasan singkat artikel "Meet Tsem Tulku Rinpoche who is a living proof that modern life is compatible with monkhood." It caught my attention, then, karena saya baru menyadari bahwa monk yang satu ini tidaklah dicukur habis rambutnya (satu foto lain dipasang berdampingan menunjukkan Tsem Rinpoche dalam pakaian biarawannya lengkap dengan setiap helai rambut di kepalanya!).
Semakin saya baca artikel ini semakin menarik isinya. Sedikit tentang Tsem Rinpoche sendiri, ia pun merupakan suatu kontroversi tersendiri di kalangan komunitas Buddha. Selain karena penampilannya yang melanggar ketetapan seorang biarawan Buddha, ajaran-ajarannya pun banyak dijadikan perdebatan karena berlawanan dengan yang dipraktekkan oleh tradisi Mahayana dan Theravaden di sana.
Yang menarik kehadirannya tetap diterima bahkan oleh guru-gurunya sendiri. Satu komentar yang pro pada pendapat Tsem Rinpoche dilontarkan gurunya Gangchen Rinpoche sebagai berikut, "The way a guru acts, talks, dresses is to fit in with everybody here so that we can learn dharma, practise and laugh together. Even if the great Shakyamuni Buddha appeared today, he wouldn't appear in his normal guise (but in) the look that pleases people today."
Biarawan yang satu ini pernah menjadi dan menerima berbagai tawaran sebagai runway model di USA, suka pergi clubbing ke hottest clubs in Los Angeles bahkan diajak berakting lewat Paramount Pictures. Sangat berbeda dengan apa yang ada di benak kita tentang kehidupan seorang biarawan Budha. Saya coba kutip kalimat-kalimatnya yang menarik menurut saya:
"Look! Do I look holy? Do I look disciplined? Do I look like a 'high holy Tibetan lama'? No! I am you; I think like you and have the same problems as you."
" If you like to eat, then eat! If you like having sex, then just have it! If you like nice clothes and jewellery, buy and wear them! I want the freaks, the people who can be themselves. Live with the motivation if being kind, change your minds, but also play computer games, have sex, party. What's wrong with that? We're not Buddhas yet. The most important is to keep your motivation good, clean and straight."
Whoaaa.... now he really got my attention...! Hingga artikel dua halaman penuh itu selesai dibaca saya cukup masih tercengang-cengang hingga beberapa saat. Dan yang paling menyentak di hati saya adalah luar biasanya seseorang yang tidak mengenal Kristus sebagai Juruselamatnya bisa terlihat lebih memahami tentang berbagai ajaran Kristus dalam konteks tertentu dibandingkan saya yang mengklaim diri sebagai orang Kristen. Saya tidak ingin berdebat tentang motivasi dan ajaran-ajaran Tsem Rinpoche disini meskipun kalau ada kesempatan untuk melakukannya, akan banyak sekali hal-hal menarik yang bisa kita temui disini. Tetapi sebagai akibat membaca artikel tersebut saya semakin memikirkan arti "ENJOYING GOD"....
Pertemuan dengan arti Menikmati Allah
Tujuan hidup manusia sebagaimana yang dipaparkan dalam Westminster Catechism - Man's chief end is to glorify God and to enjoy Him for ever. Hm... kalau itu saya sudah tahu bahkan cukup hafal dengan kalimat tersebut. Kebetulan kala itu ada seorang pengajar (Ev. Ronald Oroh) yang terus memperkenalkan kepada kami tentang arti "Menikmati Allah" telah membuat saya sadar betapa belum mengertinya saya sebetulnya akan arti "Menikmati Allah".
Sebagaimana yang dibahas di dalam kelas, sebagai orang Kristen masa kini kita seolah tertarik ke dua kutub yang berbeda antara Teologi Sukses dengan Teologi Penderitaan/Salib. Kita terpecah antara menjadikan dunia ini sebagai surga dengan mengejar berbagai materi yang berlimpah bahkan menjadikan Tuhan sebagai budak kita untuk mengabulkan tuntutan-tuntutan kita dengan mengabaikan segala keindahan yang diberikan Tuhan dengan berusaha tidak mengingini kelimpahan dalam ciptaan-ciptaan Tuhan dan hanya bisa menikmatinya saat Kristus sudah membawa kita pulang.
Tapi bukankah Alkitab berbicara mengenai kedua hal tersebut tanpa mengabaikan satu dengan lainnya? Disinilah saya mulai mengerti bahwa Teologi Kenikmatan sesungguhnya lebih realistis dibandingkan dengan kedua yang lainnya. Ini bukan memilih status quo ataupun memilih titik tengah pendulum. Tetapi ini adalah kenyataan tentang bagaimana kita seharusnya hidup di hadapan Allah. Sebagai pengikutNya Kristus tidak pernah bermaksud menjadikan kita orang yang selalu penuh airmata dan mengabaikan dunia ciptaan yang diciptakanNya untuk kita kuasai. Dan Kristus tentu saja tidak akan mengabulkan permohonan kita untuk terus mencapai kepuasan-kepuasan tertinggi dari ciptaan-ciptaanNya itu mulai harta, pasangan, kedudukan bahkan kenikmatan dalam pelayanan-pelayanan kita sekalipun yang seolah akan memuliakan namaNya.
Perkenalan dengan arti Menikmati Allah
Tuhan kita adalah Tuhan yang sungguh luar biasa mengerti hal-hal apa yang diperlukan setiap anak-anaknya di dalam hidup ini. Karena tidak ada satupun orang yang sama, sehingga begitu luar biasa bukan kalau Tuhan bisa hafal, bukan cuma hafal tapi betul-betul tahu mana yang harus diberikan untuk anak yang satu dan mana untuk anak yang lain.
Dalam perjalanan awal saya mengerti "Menikmati Allah" Tuhan memberikan prakteknya langsung pada saya. Yaitu dengan mengajarkan bahwa menikmati Allah tidak sama dengan menikmati berkat Allah. Seringkali kita hanya bisa berkata hidup kita sangat indah kala berkat-berkat Tuhan seolah dicurahkan atas kita. Problem-free life. Not all of course, but quite a problem-free life. Sikit-sikit masalah tak apalah, kan berlalu jua satu demi satu, datang pun bergantian bukan? Tapi yang Tuhan lakukan adalah melemparkan saya langsung ke dalam situasi dimana hal-hal yang paling tidak saya ingini, yang paling menghancurkan saya, yang paling saya takuti terjadi sekaligus dalam hidup saya kala itu. Dan salah satu pertanyaan yang terus bergema di jiwa saya adalah, "Apa artinya kini menikmati Tuhan?"
Saya mengamati Ayub yang di masa shock terberat dalam hidupnya masih mengatakan kalimat di atas. Itu ayat yang sangat akrab di telinga dan jiwa saya, tetapi saya melihat bahwa Ayub saat mengatakan hal tersebut sesungguhnya bukan hanya berbicara mengenai bertahan di dalam penderitaan tetapi juga bersukacita yang digambarkan dengan kata-kata luar biasa "Blessed be the name of the LORD". Tapi sukacita macam apa sebetulnya yang dialami Ayub kala itu? Bukankah semua yang dianggap berkat-berkat Tuhan diambil tak tersisa kecuali jiwanya?
Saat saya membaca kitab Pengkhotbah, semakin saya terheran-heran karena ternyata Tuhan tak habis-habisnya menolong kita untuk mengerti apa artinya menikmati Dia. Yaitu bukan dengan melalui hal-hal yang seringkali kita anggap sebagai berkat-berkatNya. Sebut saja elemen apapun yang kita sering anggap sebagai berkat Allah, semua itu digambarkan oleh Pengkhotbah sebagai hal yang hanya sekejap saja akan berlalu sehingga sia-sialah kita menggantungkan kesukacitaan kita pada semua itu. Bahkan kalau di Amsal kita membaca bagaimana "wisdom" menjadi sesuatu yang harusnya diharapkan untuk kita peroleh, Pengkhotbah yang notabene adalah orang yang paling bijaksana yang pernah hidup (1 Kings 3:12 NASB) ternyata tidak menganggap kebijaksanaannya sebagai hal yang lebih baik dibandingkan kebodohan (Eccl. 2:14-15 NASB).
Buat saya ini berarti "Menikmati Allah" betul-betul tidaklah sama dengan menikmati berkat-berkat Allah. Berkat-berkat itu bisa hilang, tetapi tidak menghilangkan sukacita dan ucapan syukur di hati saya. Kala itu saya menyadari bahwa sesungguhnya tetap ada lebih banyak berkat-berkat yang sudah Tuhan beri dibandingkan dengan yang tidak/belum Tuhan beri. Bahkan definisi berkat pun menjadi terdefinisi ulang buat saya. Saat saya terus bersyukur dan merasa puas dengan apapun yang hadir dalam hidup saya, Tuhan bahkan memampukan saya melihat berkat-berkatNya yang terbungkus lewat kesulitan dan kedukacitaan yang saya alami.
Perjalanan untuk Menikmati Allah
Pdt. Yohan Candawasa dalam salah satu khotbahnya yang bernuasa canda di perayaan Paskah yang baru lewat memberikan ilustrasi sederhana tentang arti menikmati Allah. Andaikan sepasang kekasih yang terpisah jauh dan tidak bisa saling bertemu untuk beberapa waktu. Saat berkomunikasi mereka tentu saling menyatakan rasa cinta mereka baik itu lewat perkataan dan biasanya juga pemberian-pemberian barang. Pak Yohan bercerita tentang pengalamannya sendiri menjalin kisah dengan seorang wanita yang sekarang sudah menjadi istrinya dimana selama enam tahun mereka terpisah jarak yang terjembatani lewat surat-surat yang dikirimkan dengan setia termasuk juga barang-barang yang diberikan oleh sang kekasihnya. Termasuk di dalamnya sepasang sepatu yang harganya terhitung cukup mahal untuk ukuran kantong si pemberi. Pertanyaan yang dilontarkan Pak Yohan berikutnya, "Apakah saya kemudian akan jatuh cinta dengan pemberian-pemberian tersebut (termasuk kepada si sepatu) dan tidak lagi mencintai kekasih saya?"
Grrr... kami semua terbahak-bahak. Tentu tidak. Seindah apapun pemberian-pemberiannya, kita tidaklah seharusnya jadi lebih mencintai pemberian-pemberian itu dibandingkan dengan cinta kita kepada sang pemberi (i.e. si sepatu, hahaha!). Dengan pengalaman kita sendiri masing-masing, kita semua juga tahu bahwa setiap pemberian yang dipersembahkan kekasih kita dengan penuh cinta akan semakin membuat kita memahami besarnya cinta kekasih kita dan membuat kita pun semakin mencintainya. Pemberian-pemberian itu hanyalah alat, bukan tempat curahan kasih kita. Tentu kita akan merawat baik-baik pemberian itu, menjaganya dengan hati-hati dan sangat menghargainya. Tetapi pernahkah kita lebih mencintai sebuah ungkapan hati, permata, apartemen, dll. lebih daripada cinta kita kepada sang kekasih yang memberikannya? Kalau ya, dia bukan kekasih kita lagi bukan? Ganti saja dengan sepasang sepatu itu misalnya... =p
Kembali kepada arti Menikmati Allah setelah analogi yang di atas, kalau begitu apa gunanya berkat-berkat yang Tuhan berikan kalau kemudian membuat saya lebih mendambakan berkat-berkat itu dibandingkan dengan terpautnya hati saya kepada Tuhan? Karena segala yang indah itu justru menyelewengkan hati saya dari Tuhan. Itu adalah salah satu pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar di benak saya kala itu. Kalau begitu lebih baik kita semua hidup seperti para biarawan yang mematikan segala keinginan yang ada dalam diri mereka bukan? Kalau jawaban saya adalah YA, maka saya sungguh-sungguh harus belajar pada Tsem Rinpoche karena dia ternyata lebih bisa menghargai berkat-berkat umum (common grace) yang dicurahkan Tuhan dibandingkan saya yang sudah menerima anugerah keselamatan yang khusus dari Tuhan (special grace).
Romans 8:38-39 NASB
Analogi sederhana Pak Yohan di atas sudah cukup memberikan jawaban buat saya tentang menikmati Allah. Saya pun menikmati pemberian-pemberian Allah seperti Tsem Rinpoche. Saya pun menghargai dan sangat menjaga segala hal yang Tuhan hadirkan dalam hidup saya (materi, orang-orang terkasih, bakat, segala macam keindahan diri, dll.). Tapi semua itu membuat saya semakin menyadari betapa cintaNya Kristus kepada saya.
Tidak ada sesuatu hal pun yang sebetulnya akan bisa memisahkan kita dari kasih Tuhan. Tetapi hanya karena anugerahNya-lah kita dimampukan mengerti semua itu. Rasul Paulus membuat satu daftar panjang akan berbagai hal yang tidak akan pernah bisa memisahkan kita dari kasih Allah melalui Kristus pada kita. Perhatikan daftar itu. Kalau saya boleh asumsikan, bukan hanya hal yang berkonotasi negatif saja yang disebutkan (death), tetapi termasuk juga yang positif (life). Sehingga segala hal apapun termasuk berkat-berkat yang kita terima tidak seharusnya memisahkan kita dari Allah melainkan semakin melekatkan. Penderitaan, kesukaan, kehilangan, mendapatkan, airmata, tawa, dll. semua akan membawa kita menikmati Allah. Mengenal cintaNya. Mengalami cintaNya. MenikmatiNya.
Do you want to join me in my journey for experiencing enjoying God? Come, take His hands and walk with Him...
See also these sites: Desiring God, Teologi Kenikmatan
No comments:
Post a Comment