Stupid Mental Arithmetic
Seminggu yang lalu saya mengikuti lecture berdurasi dua jam dengan tema “$2+$2=$5. How to Avoid Stupid Mental Arithmetic” oleh Pdt. Joshua Lie. Menarik bukan judulnya? Betul, bukan cuma judulnya lho, tetapi juga tentu saja isinya! Lecture tersebut kembali mengingatkan saya tentang arti bersyukur pada Tuhan. Contohnya seperti ini:
Bayangkan, kita telah memenangkan hadiah uang tunai sebesar 300 juta rupiah. Senang tidak? Sebelum menjawab coba lihat pilihan di bawah ini:
Bayangkan, kita telah memenangkan hadiah uang tunai sebesar 300 juta rupiah. Senang tidak? Sebelum menjawab coba lihat pilihan di bawah ini:
- Saat pengumuman diberitakan, kita mendapat informasi bahwa jumlah yang diterima sebesar 400 juta rupiah. Beberapa hari kemudian datang pemberitahuan yang menganulir jumlah yang kita terima tersebut menjadi 300 juta rupiah.
- Saat pengumuman diberitakan, kita mendapat informasi bahwa jumlah yang diterima sebesar 300 juta rupiah dan beberapa hari kemudian memang sejumlah itulah yang kita terima.
Sekarang coba jawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
Bukan Sekadar Angka
Dikatakan dalam lecture tersebut bahwa angka bukanlah suatu objek yang berdiri sendiri. Angka dipengaruhi juga dengan “language” yang menyertainya. Contoh sederhana saja, orang melihat apakah harga suatu perangkat audio mobil terhitung mahal atau tidak tergantung dari bagaimana ia dijual. Bandingkan, waktu kita harus menawarkan satu perangkat car audio seharga 3 juta rupiah yang berdiri sendiri dengan waktu kita mencoba menjualnya sebagai paket dari mobil seharga 200 juta rupiah. Semua orang tahu lebih mudah menjualnya sebagai paket, karena jika dibandingkan dengan harga mobil tersebut, harga car audio tersebut tidak ada apa-apanya. Padahal nilainya sama-sama 3 juta rupiah.
Saya jadi berpikir, seringkali banyak hal yang Tuhan sudah berikan pada kita jadi terasa kecil nilainya karena “kacamata” yang saya pakai untuk melihatnya. Kalau dulu uang sebesar satu juta rupiah terasa begitu luar biasa, kini mungkin tidak bisa disyukuri seperti dulu karena meningkatnya berbagai keinginan (catat: keinginan!) diri. Kalau dulu saat belum punya anak tak habis-habisnya memohon agar diberikan satu saja oleh Tuhan dan tapi kini kembali tak henti-hentinya memohon agar diberikan anak perempuan karena empat orang yang sudah lahir semuanya laki-laki. Dan masih banyak contoh lagi. Bukan sekadar angka.
Pleasure vs Pain
“We find pleasure much less pleasurable, pain much more painful than we had anticipated.”
“People experience more pain from a loss than they do pleasure from an equal gain.”
Kutipan yang sangat jujur bukan? Kita sering lebih peka saat disakiti dibandingkan dengan saat menyakiti orang lain. Beberapa saat yang lalu ada seseorang yang sangat marah pada saya dan mendengar perkataan-perkataannya membuat hati ini sangat gundah. Tetapi di tengah kejadian itu mendadak saya seolah disadarkan bahwa betapa sesungguhnya saya sudah menyakiti dia hingga menghasilkan kemarahan yang sedemikian rupa. Kesedihan saya langsung berganti dengan harapan agar satu saat nanti dia akan bisa mengampuni saya atas apa yang sudah saya lakukan. Saya baru mengerti bahwa ternyata kesedihan saya sama sekali tidak berimbang dengan kesalahan yang sudah saya lakukan.
Terhadap Tuhan pun kita terlalu sering demikian. Tak ubahnya orang Israel yang sudah dibebaskan dari perbudakan di Mesir dan dibawa langsung oleh Tuhan sendiri menuju tanah perjanjian, tetapi di sepanjang jalan tak habis-habisnya mengutuki situasi yang ada. Sukacita saat dibebaskan dengan begitu ajaib oleh Tuhan lenyap entah kemana tertiban rasa kecewa tidak bisa menikmati makanan seperti saat menjadi budak di Mesir. Seolah berkata, “Tuhan, lebih baik jadikan kami sebagai budak lagi di Israel!”
Sama seperti kita yang begitu sukacita saat baru dipertobatkan. Merasa begitu manisnya Tuhan, begitu indahnya terbenam dalam ayat-ayat Alkitab yang dibaca, tidak ada habis-habisnya mengucap syukur atas karya pengorbanan Kristus saat di kayu salib. Tapi kemudian, kala diajak Tuhan untuk lebih mengenal diriNya melalui peristiwa-peristiwa yang mendukakan hati dan meremukkan jiwa, kala diajak Tuhan untuk semakin bertumbuh dewasa dalam kasihNya melalui berbagai pencobaan, kala diajak Tuhan untuk semakin mengenal kuasaNya melalui kesulitan-kesulitan hidup, MANA YANG KITA PILIH? Tetap ikut kemanapun Dia membawa atau berteriak, “Tidak, Tuhan! Tinggalkan aku sendiri! Mana mungkin arti cintaMu seperti ini?!?!”
Padahal melalui semua jalan-jalan itulah kita pada akhirnya akan semakin mengalami sukacita yang habis-habisnya, sukacita sejati yang tak akan bisa direbut oleh apapun, termasuk segala hal yang kita sangat kita takuti. Kehilangan, kematian, kemiskinan, kesakitan. Padahal seringkali kesulitan yang dibiarkan Tuhan menyentuh hidup kita sangat sedikit “angka-nya” dibandingkan dengan pemeliharaanNya atas jiwa kita. Padahal segala dukacita yang kita rasakan sekarang akan berganti menjadi sukacita yang berkali-kali lipat nanti… Ah Tuhan… Kau tahu betul hatiku…
Lack vs Abundant
“Tidak ada seorangpun yang mempedulikan aku, padahal aku sudah melakukan berbagai hal buat mereka.Aku seperti mesin yang sudah lelah dipacu berlari dari hari ke hari tanpa mendapatkan oli pelumas Top One (atau Castrol? Tolong kasih pendapat, maklum tidak familiar dengan hal-hal berbau maskulin) ” Familiar dengan kalimat ini?
Jaman ini terlalu banyak orang (termasuk saya) merasa seperti zombie yang hidup tapi tidak hidup karena merasa adanya kekosongan yang berusaha keras diisi dengan berbagai hal yang diharapkan bisa mengisi itu semua.
Kita jatuh cinta pada orang yang bisa terlihat begitu punya banyak kelebihan, untuk menutupi kekurangan kita katanya. Tapi saat berhadapan dengan kekurangan dirinya, kita jadi kelabakan. Mengurusi kekurangan diri sendiri saja sudah begitu sulit, boro-boro mengurusi kekurangan orang lain. Akibatnya, putuslah hubungan suami-istri dimana-mana tanpa ampun!
Kita hanya bisa mencintai sesuatu karena kita membutuhkannya. Bukan hanya soal pasangan, pada materi pun demikian. Bukan hanya pada benda-benda ciptaan, pada Sang Pencipta pun kita demikian! Kita mencari Tuhan bukan demi Tuhan itu sendiri, tapi demi kebutuhan-kebutuhan diri kita. Sulit betul mencintai Tuhan tatkala yang kita rasa kita butuhkan seolah tak jua diberikan.
Kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan kita, Kristus tidak perlu mati di kayu salib menebus kita. Kristus tak perlu membatasi diriNya yang begitu mulia menjadi manusia hina. Kristus tak perlu hidup 33½ tahun di dunia dengan begitu berduka menghadapi ketidakmengertian kita akan kasihNya. Tidak. Kristus tidak perlu datang kalau cuma jadi supplier utama kebutuhan kita. Kristus tidak perlu datang.
Tapi Kristus mau datang agar kita mengenal hidup yang berkelimpahan. Kristus datang agar segala hal yang fana tergantikan dengan yang kekal. Kristus datang agar kita tidak lagi hidup dalam theology of lacking tetapi theology of abundant. Kristus datang agar kita kembali sebagaimana kita dimaksudkan saat diciptakan, pewaris kerajaan Allah, bukan budak hamba segala kenikmatan yang fana. Kristus datang agar kita hidup dalam kerajaanNya, even as of now in an already-but-not yet times!
So, let’s make decision today and keep on making it, to live as the sons and daughters of the King of Heaven, to know that we have been given much more than we can ever lose, to understand that all we have been receiving are actually only His blessings!
“Yah, Kristus tahu betapa bodohnya kita ber-matematika… =)”
- Apakah jumlah uang yang diterima pada akhirnya baik pada pilihan pertama dan pilihan kedua sama banyaknya?
- Situasi mana yang mendatangkan kegembiraan lebih besar antara menghadapi pilihan pertama dengan pilihan kedua?
Bukan Sekadar Angka
Dikatakan dalam lecture tersebut bahwa angka bukanlah suatu objek yang berdiri sendiri. Angka dipengaruhi juga dengan “language” yang menyertainya. Contoh sederhana saja, orang melihat apakah harga suatu perangkat audio mobil terhitung mahal atau tidak tergantung dari bagaimana ia dijual. Bandingkan, waktu kita harus menawarkan satu perangkat car audio seharga 3 juta rupiah yang berdiri sendiri dengan waktu kita mencoba menjualnya sebagai paket dari mobil seharga 200 juta rupiah. Semua orang tahu lebih mudah menjualnya sebagai paket, karena jika dibandingkan dengan harga mobil tersebut, harga car audio tersebut tidak ada apa-apanya. Padahal nilainya sama-sama 3 juta rupiah.
Saya jadi berpikir, seringkali banyak hal yang Tuhan sudah berikan pada kita jadi terasa kecil nilainya karena “kacamata” yang saya pakai untuk melihatnya. Kalau dulu uang sebesar satu juta rupiah terasa begitu luar biasa, kini mungkin tidak bisa disyukuri seperti dulu karena meningkatnya berbagai keinginan (catat: keinginan!) diri. Kalau dulu saat belum punya anak tak habis-habisnya memohon agar diberikan satu saja oleh Tuhan dan tapi kini kembali tak henti-hentinya memohon agar diberikan anak perempuan karena empat orang yang sudah lahir semuanya laki-laki. Dan masih banyak contoh lagi. Bukan sekadar angka.
Pleasure vs Pain
“We find pleasure much less pleasurable, pain much more painful than we had anticipated.”
“People experience more pain from a loss than they do pleasure from an equal gain.”
Kutipan yang sangat jujur bukan? Kita sering lebih peka saat disakiti dibandingkan dengan saat menyakiti orang lain. Beberapa saat yang lalu ada seseorang yang sangat marah pada saya dan mendengar perkataan-perkataannya membuat hati ini sangat gundah. Tetapi di tengah kejadian itu mendadak saya seolah disadarkan bahwa betapa sesungguhnya saya sudah menyakiti dia hingga menghasilkan kemarahan yang sedemikian rupa. Kesedihan saya langsung berganti dengan harapan agar satu saat nanti dia akan bisa mengampuni saya atas apa yang sudah saya lakukan. Saya baru mengerti bahwa ternyata kesedihan saya sama sekali tidak berimbang dengan kesalahan yang sudah saya lakukan.
Terhadap Tuhan pun kita terlalu sering demikian. Tak ubahnya orang Israel yang sudah dibebaskan dari perbudakan di Mesir dan dibawa langsung oleh Tuhan sendiri menuju tanah perjanjian, tetapi di sepanjang jalan tak habis-habisnya mengutuki situasi yang ada. Sukacita saat dibebaskan dengan begitu ajaib oleh Tuhan lenyap entah kemana tertiban rasa kecewa tidak bisa menikmati makanan seperti saat menjadi budak di Mesir. Seolah berkata, “Tuhan, lebih baik jadikan kami sebagai budak lagi di Israel!”
Sama seperti kita yang begitu sukacita saat baru dipertobatkan. Merasa begitu manisnya Tuhan, begitu indahnya terbenam dalam ayat-ayat Alkitab yang dibaca, tidak ada habis-habisnya mengucap syukur atas karya pengorbanan Kristus saat di kayu salib. Tapi kemudian, kala diajak Tuhan untuk lebih mengenal diriNya melalui peristiwa-peristiwa yang mendukakan hati dan meremukkan jiwa, kala diajak Tuhan untuk semakin bertumbuh dewasa dalam kasihNya melalui berbagai pencobaan, kala diajak Tuhan untuk semakin mengenal kuasaNya melalui kesulitan-kesulitan hidup, MANA YANG KITA PILIH? Tetap ikut kemanapun Dia membawa atau berteriak, “Tidak, Tuhan! Tinggalkan aku sendiri! Mana mungkin arti cintaMu seperti ini?!?!”
Padahal melalui semua jalan-jalan itulah kita pada akhirnya akan semakin mengalami sukacita yang habis-habisnya, sukacita sejati yang tak akan bisa direbut oleh apapun, termasuk segala hal yang kita sangat kita takuti. Kehilangan, kematian, kemiskinan, kesakitan. Padahal seringkali kesulitan yang dibiarkan Tuhan menyentuh hidup kita sangat sedikit “angka-nya” dibandingkan dengan pemeliharaanNya atas jiwa kita. Padahal segala dukacita yang kita rasakan sekarang akan berganti menjadi sukacita yang berkali-kali lipat nanti… Ah Tuhan… Kau tahu betul hatiku…
Lack vs Abundant
“Tidak ada seorangpun yang mempedulikan aku, padahal aku sudah melakukan berbagai hal buat mereka.Aku seperti mesin yang sudah lelah dipacu berlari dari hari ke hari tanpa mendapatkan oli pelumas Top One (atau Castrol? Tolong kasih pendapat, maklum tidak familiar dengan hal-hal berbau maskulin) ” Familiar dengan kalimat ini?
Jaman ini terlalu banyak orang (termasuk saya) merasa seperti zombie yang hidup tapi tidak hidup karena merasa adanya kekosongan yang berusaha keras diisi dengan berbagai hal yang diharapkan bisa mengisi itu semua.
Kita jatuh cinta pada orang yang bisa terlihat begitu punya banyak kelebihan, untuk menutupi kekurangan kita katanya. Tapi saat berhadapan dengan kekurangan dirinya, kita jadi kelabakan. Mengurusi kekurangan diri sendiri saja sudah begitu sulit, boro-boro mengurusi kekurangan orang lain. Akibatnya, putuslah hubungan suami-istri dimana-mana tanpa ampun!
Kita hanya bisa mencintai sesuatu karena kita membutuhkannya. Bukan hanya soal pasangan, pada materi pun demikian. Bukan hanya pada benda-benda ciptaan, pada Sang Pencipta pun kita demikian! Kita mencari Tuhan bukan demi Tuhan itu sendiri, tapi demi kebutuhan-kebutuhan diri kita. Sulit betul mencintai Tuhan tatkala yang kita rasa kita butuhkan seolah tak jua diberikan.
Kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan kita, Kristus tidak perlu mati di kayu salib menebus kita. Kristus tak perlu membatasi diriNya yang begitu mulia menjadi manusia hina. Kristus tak perlu hidup 33½ tahun di dunia dengan begitu berduka menghadapi ketidakmengertian kita akan kasihNya. Tidak. Kristus tidak perlu datang kalau cuma jadi supplier utama kebutuhan kita. Kristus tidak perlu datang.
Tapi Kristus mau datang agar kita mengenal hidup yang berkelimpahan. Kristus datang agar segala hal yang fana tergantikan dengan yang kekal. Kristus datang agar kita tidak lagi hidup dalam theology of lacking tetapi theology of abundant. Kristus datang agar kita kembali sebagaimana kita dimaksudkan saat diciptakan, pewaris kerajaan Allah, bukan budak hamba segala kenikmatan yang fana. Kristus datang agar kita hidup dalam kerajaanNya, even as of now in an already-but-not yet times!
So, let’s make decision today and keep on making it, to live as the sons and daughters of the King of Heaven, to know that we have been given much more than we can ever lose, to understand that all we have been receiving are actually only His blessings!
“Yah, Kristus tahu betapa bodohnya kita ber-matematika… =)”
No comments:
Post a Comment