Friday, June 01, 2007

Nagabonar Jadi 2

Kira-kira sebulan yang lalu saya menonton film Nagabonar Jadi 2. Selama 20 tahun terakhir ini bisa dihitung dengan jari berapa banyak film Indonesia yang saya bersedia tonton di bioskop. Tapi karena promosi seorang hamba Tuhan, jadilah weekend itu saya dengan seorang teman wanita bertekad menatapi wajah "ganteng" Deddy Mizwar dan Tora Sudiro di layar lebar. Hasilnya, kami sepakat bahwa film itu cukup menarik terlepas dari kontroversi soal "kegantengan" para aktor, kelucuan2 akting "wong ganteng" tersebut cukup menghibur, termasuk juga sindiran2 sosialnya yang disampaikan (meskipun ada yang kurang pas juga). Saya sempat beberapa kali terharu saat lagu2 seperti Syukur, Padamu Negeri dikumandangkan. Yah, Tuhan pasti tidak salah menempatkan saya lahir di negeri ini dari keturunan ras apapun saya berasal.

Tapi yang saya mau share bukan soal2 di atas tadi. Melainkan tergelitiknya saya dengan satu adegan kecil di sana. Tora Sudiro sebagai anak Nagabonar (Deddy Mizwar) punya tiga orang teman. Dari suku Jawa, Manado dan Arab (kalau saya tidak salah menebak dari bahasa yang digunakan). Satu malam mereka pergi clubbing dan saat asyik bergoyang diiringi hentakan musik yang menggelegar, terselip percakapan kecil ini.



A : Kemana si Pomo (yang Manadonese)?
B : Lagi ada neneknya datang dari kampung, diajak ke gereja dia

Kenapa percakapan kecil ini menarik? Karena hanya segitu saja. Di sepanjang film berkali2 diangkat kritik tentang seorang rekan Tora Sudiro yang tidak pernah luput sholat dan sudah baca Alquran secara mendalam, tapi hidup tidak berbeda dengan orang2 yang tidak mengenal Tuhan. Seperti menyindir kredo yang sempat populer semasa film "Catatan Harian Si Boy" yang sholat juga, ngebut dan minum2 juga. Tapi tidak pernah satu kalipun ada dialog yang mengkritik satu2nya rekannya yang penganut Nasrani itu dan dalam beberapa kali adegan dimana kedua rekan Tora yang lain mengakali pajak dan memberi upeti buat calon investor, rekan yang satu ini "tidak kebagian" adegan seperti itu.

Apakah ini membuat rekan yang beragama Kristen itu jadi orang yang lebih baik daripada dua rekannya yang lain? Tunggu dulu. Alkitab sering berbicara melalui hal2 yang tersirat selain daripada hal2 yang tersurat bukan? Disitulah saya tergelitik.

Biarpun sekilas terlihat sedikit lebih baik karena memilih ke gereja daripada clubbing, tapi itu juga karena neneknya datang dari kampung. Banyak sekali dari kita (termasuk saya) yang lahir dari keluarga Kristen dan berbudaya Kristen, tapi sangat mungkin sesungguhnya tidak pernah benar2 mengenal Kristus, boro2 diminta jadi pengikutNya yang setia. Segala sesuatu dilakukan karena tradisi.

Biarpun tidak digambarkan ikut mengakali pajak atau memberi upeti, tetapi tidak ada dialog yang menunjukkan ketidaksetujuan akan tindakan2 tersebut. Jadi, sebagai orang Kristen di tengah dunia ini, baik2lah tidak melanggar semua peraturan yang "DON'T" itu. That's it. Dan lupakan saja semua yang "DO". Padahal salah satu arti dosa dalam bahasa aslinya adalah "HAMARTIA", missed the target, tidak mencapai sasaran. Bukan hanya sekadar tidak melakukan apa yang tidak diperbolehkan, melainkan juga harus melakukan yang apa yang baik.

Hal2 tersebut mengingatkan saya pada yang dikatakan Ibu Inawaty Teddy tentang Raja Salomo yang turn his heart away from God when HE WAS OLD. Dia adalah seorang Kristen yang lahir dari keluarga Kristen dan mengenal firman Tuhan sejak kecil. Tapi apakah itu menjamin hatinya tidak serong? Kita semua tahu jawabannya. Yang menyedihkan, itu terjadi pada masa tuanya, saat perjalanannya dengan Tuhan sudah begitu jauh dan luar biasa (dua kali Tuhan menampakkan diri padanya). Dan itu semua dimulai karena "melesetnya" dia untuk patuh pada Tuhan agar tidak menyembah allah lain. Dan itu bukan terjadi secara mendadak, melainkan secara perlahan2. Sayangnya, gap pada serong 1 derajat sejauh 1 cm pasti semakin besar di 10 cm, apalagi di 1 km!

Ev. Jeffrey Siauw di salah satu khotbahnya pernah menceritakan pengalamannya semasa belajar teologi dalam memenuhi panggilan sebagai hamba Tuhan. Setiap hari ikut dua kali kebaktian, berkutat dengan firman Tuhan berjam2, belajar tentang kebenaran yang semuanya begitu indah dirasakan pada awalnya. Tetapi setelah satu tahun lewat, dia mulai merasakan sesuatu yang salah. Meminjam istilah Pak Yohan Candawasa, KAPALAN. Akibatnya semakin belajar, semakin tumpul rasanya. Kebal. Tidak lagi diubah secara indah dengan firman. Saya yakin pengalamannya itu mewakili banyak dari kita pula.

Film Nagabonar Jadi 2 sudah mengusik hati saya. Bukan karena apa yang disampaikan lewat dialog, tetapi lebih karena apa yang tersirat dari sana, meskipun sangat mungkin pembuat film tidak berpikir seperti itu. Tuhan, sejauh manakah firmanMu sudah mentransformasi saya bukan jadi pengetahuan belaka? Ataukah mengutip kembali Ibu Ina, kita sering takut pada banyak hal, tapi tidak takut akan Tuhan...

"And do not be conformed to this world, but be transformed by the renewing of your mind, so that you may prove what the will of God is, that which is good and acceptable and perfect."
Romans 13:3 NASB
in His mercy and grace


No comments: